The Velvet Sundown, proyek musik fiktif yang dibentuk melalui platform generatif AI bernama Suno, mendadak menjadi viral setelah meraih lebih dari 500 ribu pendengar bulanan di Spotify.
Meskipun awalnya menolak untuk disebut sebagai proyek berbasis AI, pernyataan dari juru bicara dan “anggota tambahan” mereka, Andrew Frelon, akhirnya mengonfirmasi bahwa seluruh proyek ini adalah bagian dari eksperimen seni dan pemasaran yang sengaja dirancang untuk memicu perdebatan, sebuah “art hoax”.
Dalam wawancara eksklusif dengan Rolling Stone, Frelon secara terbuka mengakui bahwa Velvet Sundown adalah hasil dari kombinasi strategi promosi, eksperimen teknologi, dan (dengan nada sarkastik) sedikit trolling.
“Sebelumnya, tidak ada yang peduli dengan apa yang kami buat. Tapi sekarang, kami diwawancara oleh Rolling Stone. Jadi, apakah ini salah?” ujarnya dalam percakapan via telepon.
The Velvet Sundown pertama kali mencuri perhatian karena popularitasnya yang tiba-tiba dan misterius. Banyak pihak mempertanyakan dari mana band ini berasal, mengingat mereka tampaknya tidak memiliki jejak eksistensi sebelum bulan Juni.
Rumor mengenai keterlibatan AI pun mulai bermunculan, meskipun awalnya pihak band membantahnya. Namun seiring waktu, Frelon mulai membuka satu per satu fakta di balik proyek ini.

The Velvet Sundown
Awalnya, ia mengklaim bahwa AI hanya digunakan pada tahap awal proses kreatif, sekadar untuk brainstorming ide. Lalu ia mengakui bahwa mereka menggunakan Suno, meski “tidak untuk hasil akhir”. Pada akhirnya, ia menyebut bahwa memang ada beberapa lagu yang sepenuhnya dihasilkan oleh Suno, meski ia enggan menyebut judul pastinya.
Selain itu, Frelon juga mengonfirmasi penggunaan fitur “Persona” dari Suno, fitur yang juga sempat digunakan produser ternama Timbaland dalam proyek AI kontroversialnya, “TaTa”. Meski demikian, ia menekankan bahwa fitur tersebut tidak digunakan pada semua trek Velvet Sundown.
Layanan streaming seperti Deezer menjadi salah satu pihak pertama yang memberikan petunjuk tentang sifat artifisial dari proyek ini. Deezer menunjukkan bahwa beberapa lagu The Velvet Sundown “mungkin dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan”. Ini menimbulkan kecurigaan di kalangan pendengar bahwa band tersebut mungkin bukan entitas nyata. Menurut Deezer, sekitar 18% musik yang diunggah ke platform mereka saat ini berasal dari AI.
Sementara itu, Spotify, platform utama yang membawa ketenaran The Velvet Sundown, belum memiliki kebijakan yang secara tegas membatasi musik buatan AI. Glenn McDonald, mantan analis data Spotify, berkomentar bahwa persoalan besar bukan lagi soal “musik palsu”, tapi “pendengar palsu”.
Namun dalam kasus The Velvet Sundown, ia menduga algoritma rekomendasi Spotify lah yang memainkan peran besar. Sistem rekomendasi Spotify kini semakin bergantung pada karakteristik audio dibanding komunitas atau pola dengar manusia. Ini menciptakan ekosistem yang makin menyerupai undian, di mana siapa pun bisa tiba-tiba viral, bahkan jika itu adalah band buatan AI.
Ironisnya, Frelon sendiri tak sepenuhnya menyangkal bahwa popularitas The Velvet Sundown lebih disebabkan oleh kontroversi daripada kualitas musiknya.

Menurut laporan Music Ally, sebagian besar playlist yang memasukkan lagu The Velvet Sundown dikelola hanya oleh empat akun pengguna. Fakta ini menimbulkan pertanyaan: apakah ini benar-benar didorong oleh audiens organik, atau sekadar hasil dari eksploitasi sistem?
Seorang eksekutif A&R berpengalaman yang enggan disebutkan namanya berpendapat bahwa kasus ini hanyalah permulaan dari fenomena yang lebih besar.
“Ini populer karena dibuat oleh AI, bukan karena musiknya luar biasa. Namun, cepat atau lambat, akan ada lagu hit yang benar-benar diciptakan oleh AI dan diterima oleh publik. Ketika orang tahu bahwa itu dibuat oleh AI, mereka mungkin tidak peduli, karena lagu tersebut sudah terlanjur dicintai,” ujarnya kepada Rolling Stone.
Di sisi lain, Frelon menekankan bahwa publik perlu mulai menerima keberadaan AI dalam musik. Baginya, eksperimen semacam ini adalah bagian dari perkembangan budaya.
“Saya mengerti banyak orang memiliki reaksi emosional yang kuat. Namun, seniman harus diberi kesempatan untuk bereksperimen dengan teknologi baru. Musik tidak akan berkembang jika kita terus mengikuti aturan yang sama,” katanya.
The Velvet Sundown mungkin tidak nyata dalam bentuk fisik atau personel, tapi keberadaannya nyata dalam satu hal: mengguncang persepsi kita tentang siapa yang bisa menciptakan musik, dan bagaimana algoritma bisa menjadikan siapa pun, bahkan entitas buatan, sebagai fenomena global.
ENV=481fa940-490b-43d4-a35d-b19fd6be535c
Support Gigsplay Dengan Saweria
🙏 Terima Kasih Atas Dukungan Anda!
Dukungan Anda sangat penting dan membantu Gigsplay untuk mendukung musisi independen Indonesia.
✅ KLIK UNTUK DONASI
Pilihan mode pembayaran